screenshot 20230826 141508 1

oleh : elut haikal

Pemahaman Pemilu yang dirasakan sejak kita mulai pada usia 17 tahun tetapi banyak dari pemilih pemula, hanya tahu ketika saat tiba Pemilu. Pemilu hanya dipahami sebagai kewajiban setiap warga negara yang diberi hak dan dilindungi oleh UU untuk ikut partisipasi aktif dalam berpolitik, agar dapat menentukan hak memilih atau dipilih. disetiap perhelatan Pesta Demokrasi lima (5) tahunan baik di Pilpres, Pilkada dan Pileg.

Setiap pemilih pemula atau yang sudah pernah ikut Pemilu ternyata lebih didominasi oleh fase pemilih yang berawal dasar pemikirannya hanya sebagai kewajiban dan hak selaku warga negara untuk ikut mencoblos dan menyukseskan Pemilu saja. Mereka tidak ikut berada dipusaran arus politik itu sendiri.

Terutama bagi kaum ibu-ibu, bapak-bapak, Lansia & pemuda yang awam politik, dengan tingkat pendidikan rendah, dengan masyarakat yang tingkat pendidikan menengah ke atas. Artinya, pada pemahaman tentang tujuan politik partai., tetapi kepedulian akan politik praktis langsung enggan untuk terlibat.
Biasanya pemilih yang tingkat pendidikan politiknya rendah yang menjadi sasaran empuk untuk dimobilisasi pikirannya oleh partai atau calon dengan Politik Pragmatis yang hanya mengejar kekuasaan dan kedudukan, selebihnya bodoh amat.

Namun bagi pemilih menegah ke atas yg sedikit mengerti, cenderung logis melihat situasi dan kondisi atas figur pilihannya.

Umumnya bagi pemilih model ini semua, yang penting sudah nyoblos memenuhi kewajiban partisipasi pada hari H, ditiap TPS. Adapun siapa yang terpilih nantinya soal.belakangan.
Mereka berpriinsip sederhan, yang penting hidup Aman, Damai, Pekerjaan Mudah, Ruang Usaha terbuka, barang kebutuhan tidak susah, harga-harga terjangkau, ekonomi terus meningkat,
tanpa pemahaman yang lebih luas arti dari makna Pemilu itu sendiri pada efek kedidupannya.
Padahal Pemilu lebih kepada penentuan nasib masyarakat dan bangsa dari hasil Pilpres, Pilkada dan Pileg. Bukan dijadikan permainan kemenangan saja, tanpa arah yang pasti pada nasib bangsa.

Sehingga suara yang diberikan untuk calon pemenang di Pemilu, akan diperlakukan seperti apa terhadap kelanjutan bangsa dan negara ini. Akan lebih maju disegala bidang, baik ekonomi pendidikan, kesehatan, kesejahtraan, lapangan pekerjaan yang terjamin oleh negara saat menata pemeintahannya atau terpuruk? Kadang pemilih cenderung tak peduli, sadarĀ² begitu semua kebutuhan semakin sulit.
Lantas bagaimana kedepan keadaan Daerah & Bangsa umumnya akan tetap utuh terjaga, tanpa korupsi, tanpa melepas kekayaan alam dikelola fihak luar ?
Tapi kapan dikelola pemerintah dan rakyatnya sendiri ?

Terutama dalam penegakan hukum yang semakin mandul dan dikuasai oleh kekuasaan. Padahal mereka bekerja ditata oleh UU dan aturan hukum itu sendiri dalam menjalan kan tugasnya,
Elit politik lebih merasuk,
mempermainkan hukum dan aturan dalam segala sektor. Termasuk kineerja para ASN/PSN serta APH di pemerintahan.
Pada segi pelayanan masyarakat yang dianggap berat sebelah. Mereka lebih berpihak pada Oligarki dan elit politik dalam segala hal. Padahal dalam pelayanan dimata Aturan dan Hukum memiliki Hak yang sama.

Kekuasaan yang diraih dari hasil Pemilu diperlakukan dengan jalan pemikirannya, tanpa menimbang efek kerusakan hukum, ekonomi, sosial dan alam menjadi timpang tidak seimbang semodel benang kusut. Menimbulkan gejolak ssoial dan alam.
Hasil Pemilu dari tahun ke tahun — baik pada masa orde Lama dan Baru — masih dalam katagori biasa saja.

Tetapi pasca refelormasi sepertinya sudah lepas dari tujuan cita cita leluhur bangsa yg dituang dalam UUD dan Pancasila sebagai buah pikir warisan bangsa agar negeri ini Aman Damai Gemah Ripah Lohjinawi.

Sementara mereka tidak peduli terhadap nasib rakyat. Mereka berpikir seperti Kokonial, Feodal dan Individual tanpa rasa
tak peduli Kekayaan alamnya, bukan semakin melimpah hasil kelolanya malah menipis dan tidak dinikmati oleh rakyatnya.
Negara ini semakin tidak terukur dan terkendali dalam pengelolaannya oleh pemerintahan yang terpilih tiap hasil Pemilu. Korupsi semakin menjadi, elit politik hampir putus urat malunya, tak punya harga diri. Mereka cenderung menumpuk kekayaan dari hasil kekuasaan. Sehabis divonis seolah negeri ini miliknya sendiri.

Pembangunan terus berkembang dan tumbuh di daerah dan pusat, tetapi mengorbankan kekayaan alam yang ada dan diatas tumpukan hutang yang menjadi beban rakyat.

Apakah ini yang dimaksud keberhasilan dari pemegang kekuasaan pemerintahan ?

Sehingga pembangunan selama ini dari sejak awal dilaksanakan seperti dalam peribahasa “Besar Pasak Dari Pada Tiang, atau Biar Tekor Asal Kesohor ?”

Sehingga tak satupun dari pemerintahan yang ada membangun dari kekayaan alam dan karya anak bangsa sendiri.

Mungkinkah hal ini terjadi akibat Senjata Makan Tuan dari janji-janji politik dalam kampanyenya yang keblablasan tanpa ukuran perencanaan pasti. Yang penting memenangkan Pemilu dimana debat program dalam kampanye hanya Life Service saja untuk mengelabui pikiran menina bobokkan rakyat sehingga tidak memiliki agenda pembangunan yang jelas.

Inilah dilema berpikir umum tentang. “Pemilu kita, antara pemilih yang apa adanya” dengan calon-calon pilihan yang sering mengada-ada. akibat persaingan pada perebutan ‘meraih kekuasaan”.

Hasil Pemiku dengan sistem demokrasi lemah dalam pengawasan, sehingga banyak pemimpin dengan mudah menentukan kebijkan terlebih dahulu atas kepentingan jajaran Elit Politiknya, Kroni-kroni dan pendukungnya.

Mudah mengatur dan merotasi ASN/ PNS yg tidak loyal mendukung kebijakannya, dengan mudah menggeser dan meng intimidasi ASN / PSN jika membangkang. Hal ini banyak terjadi disetiap pemerintahan daerah di negrri ini.
Jadi cermin keadaan hasil politik kita sampai saat ini dari elit partai politik, cendekiawan, Ilmuwan, para tokoh , simpatisan partai, dan para aktifis yang memahami akan tujuan politik dalam arti pergantian estafet kepemimpinan dalam lima tahunan apa perlu dievaluasi atau tetap akan dibiarkan ?

Model tingkat berpikir pemahaman tujuan utama Pemilu jelas tidak merata di masyarakat.
Tentu keadaan ini akan terus dipertahankan oleh para elit politik, agar menjadi samar dari tujuannya
yang seharus tujuan itu menjalankan mandat dan amanat para Leluhur Bangsa.dalam UUD 45 dan Pancasila.

Oersaingan dalam keunggulan kualitas calon pemimpin bangsa adalah hal yang mutlak untuk diketehui oleh setiap pemilih, karena pilihan adalah pertaruhan maju mundurnya suatu negara kedepan.

Saat ini kita butuh calon yang memahami keadaan & situasi bukan dalam negeri saja. Tetapi secara global dunia umumnya dan mampu membaca tanda tanda perubahan geo politik, ekononi dan konflik rasial pada perubahan sosial di dunia yang akan berefek pada bangsa negara ini. Dimana tujuan harapan utama Pemilu, bukan pada persaingan dan perebutan kekuasaan, yang saling tindas, saling baku hantam, bukan pula persaingan saling menjatuhkan, mencari kelemahan, kekurangan, keburukan yang dilandasi Hoax.

Tampak persaingan politik ini menjadi tidak sehat malah abnormal, karena mereka sibuk dengan urusan Penguatan Partai, saling mencari celah kesalahan, kelemahan untuk menjatuhkan satu sama lain hanya demi kekuasaan, bukan demi bangsa dan rakyat. Saat usai Pemilu, mereka asyik berpesta dengan kekuasaan masing-masing, semetara rakyat hanya sebagai penonton yang mendapat saweran dari sisa-sisa pesta.
menata dan mengelola pemerintahan demi bangsa dan seisinya menjadi nomor sekian.
Dimana rakyat sebagai pemilik suara penentu kemenangan dalam tiap Pemilu, hanya sebagai objek lima tahunan saja tanpa keterlibatan pengawasan.

Sehingga mereka tak perlu pintar dan tau politik. Cukup yang memahami tujuan partai hanya garis depan saja
Dari mulai elit politik, elit pejabat pusat, daerah, para tokoh, cendikiawan, pendukung dan para simpatisan, serta Tim Sukses kecamatan, kelurahan dan desa hingga elit Rt/RW yang biasa kerja memobilisasi massanya. Mereka cukup diberi bantuan tahunan, hadirkan di TPS dan mencoblos dengan bayaran per suara ?

Akankah hasil Pemilu dari tahun ke tahun hanya menghasilkan prodak rezim dan figur yang korupsi ke kurupsi ?
Lihat negara Eropa atau Negara Kanada di Benua Amerika yang hampir NOL persen dari korupsi yang mayoritas tak percaya Tuhan.* penulis – wartwan cbn & ka.biro sukabumi raya

Share :