Malang, CBN – Kebijakan Pemkab Malang untuk mencoret 419 ribu warga peserta BPJS kesehatan, dengan kategori Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID), menuai kritikan dari pihak BPJS Watch.
“Rakyat itu jangan dijadikan bahan untuk berpolitik. Apa lagi, sebentar lagi mendekati tahun politik. Nah, bisa jadi, nama-nama yang sudah dicoret, diaktifkan lagi, nantinya,” ucap Ketua BPJS Watch Jatim, yakni Arief Supriyono, pada Minggu (06/08/2023).
Tak hanya itu, Beliau juga menjelaskan bahwa, dalam melaksanakan praktiknya, Pemkab Malang tidak seharusnya mencoret 419 ribu warga dari kepesertaan BPJS Kesehatan, untuk kategori PBID, dengan alasan keterbatasan anggaran.
Menurut Beliau, pencoretan peserta PBID itu bertentangan dengan program Universal Health Coverage (UHC), yang digalakkan oleh pemerintah pusat, serta perhelatan UHC Awards, sebagai bentuk apresiasi kepada pemerintah daerah, yang berkomitmen untuk mendorong program JKN tiap tahunnya.
“Jika kita berbicara tentang UHC, pemerintah seharusnya tidak boleh menyampaikan kepada yang lainnya bahwa, ada warga mampu yang ikut di PBID. Karena, sesuai dengan UUD yang berlaku, pemerintah sudah seharusnya memberikan hak kesehatan bagi rakyatnya. Jika ada warga miskin ataupun kaya, yang ingin di kelas III, nggak seharusnya mereka dicoret dengan alasan keterbatasan anggaran. Karena, saya yakin anggaran itu ada,” ujar Arief.
Tak hanya itu, Arief, dalam kesempatannya, memaparkan bahwa, dirinya yakin jika anggaran itu ada karena, pemerintah merencanakan anggaran tersebut melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Pemerintah pasti sudah membahas rencana pembangunan jangka menengah melalui RPJMD, nggak mungkin, nggak. Apa lagi, pendaftaran warga yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 di Perpres 82/2018, tentang jaminan kesehatan,” ucapnya.
Tak hanya itu, jika pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup. Maka, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Jadi, pemerintah tidak bisa serta merta mencoretnya. Salah satunya yakni, dengan menggunakan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, yang diajukan Pemda ke pemerintah pusat.
“Pemerintah daerah dapat mengajukan anggaran DAU atau DAK ke pemerintah pusat untuk infrastruktur dan lain-lain, tiap tahunnya. Nah, nantinya, pemerintah yang melakukan hal tersebut, biasanya dianggap sebagai seseorang yang memiliki piutang ke pihak JKN. Sehingga, DAU/DAK itu, nantinya bisa dialokasikan untuk hal tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Arief juga menyebutkan bila pihak Pemerintah Kabupaten/Kota, dapat membiayai iuran untuk warga peserta PBID, dengan pajak rokok yang menjadi bagian dari hak masing-masing daerah, sesuai dengan Pasal 99 ayat 6 Perpres 82/2018.
“Seharusnya, pemerintah tidak bisa menjadikan keterbatasan anggaran sebagai alasan utama untuk mencoret peserta PBID. Dan saya tegaskan lagi, jika pemerintah memang memiliki keterbatasan anggaran, mereka bisa mengupayakan hal lain. Misalnya, dengan mendorong perusahaan untuk menyalurkan CSR-nya. Tindakan itu boleh dilakukan, kok!” ujarnya.
Sebagai informasi, Pemkab Malang telah menonaktifkan sementara 679.721 warga peserta BPJS Kesehatan PBID, karena jumlah pesertanya terlalu banyak, dan membuat keuangan Pemkab Malang membengkak.
Atas masalah itu, pihak Dinkes Malang memutuskan untuk mencoret 419 ribu warga, sesuai dengan perintah Bupati Sanusi.
“Mau tidak mau, perintah Bapak Bupati harus dilakukan. Jika tidak, keuangan kita bisa jebol, nanti,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang, yakni Wiyanto Wijoyo, pada hari Jum’at (04/08/2023).
R.A – CBN