Gorontalo – Cakrabhayangkaranews.com (CBN) –Dalam setahun ini sudah dua aktivis antikorupsi dituntut jaksa di pengadilan negeri Gorontalo gara-gara mengangkat kasus korupsi yang melibatkan oknum kepala daerah.

Yang pertama Ketua LSM Jamper Zainudin Hasiru. Zainudin dituntut jaksa karena menulis di akun Facebook bahwa Bupati Bone Bolango Hamim Pou berstatus tersangka. Zainudin menuliskan hal itu karena berpendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi dana bansos dengan tersangka Hamim Pou sudah dibatalkan pengadilan sehingga status Hamim otomatis kembali menjadi tersangka. Zainudin yang menggugat SP3 Hamim yang diterbitkan Kejati Gorontalo. Kasus ini tidak maju juga tidak mundur, terkatung-katung 10 tahun di Kejaksaan.

Yang kedua anggota DPRD Gorontalo Adhan Dambea. Aktivis antikorupsi yang juga mantan walikota Gorontalo ini dituntut jaksa 1 tahun penjara (Rabu, 3/8) karena mengungkap dugaan korupsi dana hibah Rp. 53 milyar tahun anggaran 2019.

Adhan yang terkenal vokal itu membuat pernyataan di media online bahwa dana tersebut diduga dipakai mantan Gubernur Rusli Habibie untuk kepentingan istrinya saat ikut kontestasi caleg anggota DPR.

Di persidangan pemeriksaan saksi yang diikuti CBN, sebelum persidangan tuntutan, dugaan Rp. 53 milyar yang dituduhkan itu terungkap asal usulnya.

Yakni pada APBD-P 2019 pos hibah hanya sebesar Rp. 222 milyar. Tetapi dalam SK Gubernur tentang Penjabaran APBD-P 2019 jumlahnya membengkak menjadi Rp. 288 milyar sehingga ada selisih Rp. 53 milyar. Padahal gubernur tidak punya kewenangan merubah anggaran yang sudah ditetapkan DPRD.

Menurut Adhan dana itu dipakai membeli benih padi, mesin tempel bahkan ikan lalu dibagikan ke masyarakat oleh Rusli Habibie saat kampanye. Padahal prosedur pemberian hibah tidak demikian. Keterangan Adhan ini sama dengan keterangan saksi Nixon Ahmad, ketua Yayasan Yapara.

Selain itu terungkap ada11 kali pergeseran anggaran hanya dalam satu bulan yaitu pada Mei 2019. Pergeseran anggaran yang tidak lazim itu tidak diketahui sebagian anggota DPRD termasuk ketua DPRD Paris Yusuf saat didengar kesaksiannya.

Juga dipersidangan terungkap ada dana sebesar Rp. 7.5 milyar yang tercantum dalam apbd 2019 yang dihibahkan kepada Polda dan Kejaksaan Tinggi padahal sesuai aturan tidak boleh. Hibah ini pun tidak dilaporkan ke BPK. Dan anehnya di persidangan Rusly mengaku tidak ada hibah ke Polda dan Kejati.

Adhan menyebut sudah melaporkan dugaan korupsi Rp. 53 milyar itu ke kejaksaan jauh sebelum dia dilaporkan Rusli dengan tuduhan pencemaran. Tapi entah sebab apa kejaksaan lebih memilih memproses laporan Rusli. Padahal ada SKB tiga menteri dan surat edaran Kabareskrim agar mendahulukan laporan korupsi dari laporan pencemaran.

Koordinator Gorontalo Corruption Watch Deswerd Zougira mengatakan kejaksaan sudah menjadi momok yang menakutkan bagi aktivitas antikorupsi di Gorontalo dan terkesan ramah dengan perilaku korup oknum. Apalagi kalau yang terlibat korupsi berstatus kepala daerah.

“Tahun 2011 GCW menggugat SP3 tersangka mantan Gubernur Fadel Muhammad dan dikabulkan. Tetapi perkaranya tidak dilanjutkan. Yang terjadi justru saya yang dikriminalisasi. Tadinya saya mau gugat minta ganti rugi lima perak tapi belum lagi,” cerita Deswerd sambil tertawa dibalik telefon, saat dihubungi CBN pagi tadi.

Masih cerita Deswerd, sikap kejaksaan itu mesti dikoreksi dengan menghadirkan pimpinan kejaksaan yang betul-betul antikorupsi dan elemen masyarakat antikorupsi yang kompak.

“Sekarang ini kejaksaan seperti gampang sekali menuntut di pengadilan aktivis antikorupsi dengan tuduhan pencemaran nama baik koruptor, sementara semua elemen masyarakat antikorupsi terutama kalangan kampus dan BEM pada tiarap, entah kenapa,” tanya advokat ini serius.* jay

Share :