=Foto Hendra Sampow=

CBN, Bolaang Mongondow Timur – Lokasi produksi pusat pengolahan material perusahan tambang PT. Arafura Surya Alam (ASA) atau JResources Nusantara (JRN) kembali menuai sorotan dari sala satu aktivis peduli lingkungan Desa Kotabunan Kecamatan Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Provinsi Sulawesi Utara yaitu Hendra Sampow.

Kepada Cakrabhayangkaranews.com Hendra Sampow mengatakan bahwa selaku aktivis sekaligus masyarakat tentunya kami sangat menyesalkan sikap PT.ASA atau JRN yang telah melakukan pembangunan pusat pengolahan material berupa sejumlah tong yang berukuran besar dan bak pembuangan limbah yang di duga berada di wilah pemukiman masyarakat,”Selaku masyarakat kami menyesalkan sekaligus sikap PT. ASA atau JRN yang membangun pusat pengolahan material yang di duga berada di wilayah pemukiman masyarakat”, tegas Hendra Sampow.

Dengan demikian menurutnya, selaku masyarakat tentunya kami meminta kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Dinas ESDM Provinsi sekaligus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui DLH Provinsi agar kiranya turun meninjau lokasi pembangunan pusat pengolahan material yang saat ini dalam proses pembangunan karena di duga berada di wilayah pemukiman masyarakat,”Kementerian ESDM melalui Dinas ESDM Provinsi maupun KLHK melalui DLH Provinsi diminta untuk turun meninjau langsung keberadaan pusat pengolahan tersebut, karena pembangunan pusat pengolahan material berupa sejumlah tong dan bak limbah itu di duga kuat berada di wilayah pemukiman masyarakat desa Kotabunan, dan bila dalam proses peninjauan nantinya ditemukan adanya indikasi bahwa lokasi tersebut tidak layak maka diminta agar dapat di tindak tegas”.

Apa lagi menurut Hendra Sampow bahwa diduga kuat proses pembangunan pusat pengolahan itu tidak pernah di sosialisasikan secara langsung kepada masyarakat terutama menyangkut dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL),”Tidak pernah di sosialisasikan menyangkut dokumen AMDAL-nya terkait lokasi pembangunan pusat pengolahan yang ada di wilayah pemukiman penduduk tersebut kepada masyarakat”, terang Hendra Sampow.

Dan seandainya bahwa hal itu pernah di sosialisasikan, kemungkinan saja menurut Hendra bahwa sosialisasi AMDAL lokasi produksi itu hanya dilaksanakan tampak melibatkan masyarakat, atau hanya di hadiri oleh orang-orang tertentu dan dilaksanakan secara tertutup.

Jika memang benar adanya, mestinya sosialisasi itu dilaksanakan di Desa Kotabunan dimana perusahan berada dengan melibatkan seluruh masyarakat, agar ketika perusahan melaksanakan kegiatan pembangunan berbagai infrastruktur tidak ada lagi komplain dari masyarakat seperti yang terjadi saat ini, dimana sejak perusahan PT. ASA atau JRN mulai melaksanakan proses pembangunan tempat produksi berupa sejumlah tong berukuran besar dan bak tampungan limbah yang diduga berada di wilayah pemukiman pemduduk membuat masyarakat resah sehingga meminta berbagai elemen masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, aktifis peduli lingkungan terpaksa harus angkat bicara sebagaimana yang sudah di beritakan pada edisi-edisi sebelummya.

Selidik punya selidik, indikasi adanya sosialisasi yang dilaksanakan secara tertutup itu diduga benar adanya, dimana menurut sumber resmi yang meminta namanya enggan di tulis mengatakan bahwa dirinya pada saat itu di undang menghadiri kegiatan sosialisasi di sala satu hotel yang berada di bilangan kota Manado,”Saat itu kami menghadiri pelaksanaan sosialisasi di sala satu hotel dibilangan kota Manado”, jelas sumber resmi sembari meminta namanya enggan di tulis.

Sehingga adanya komplain dari berbagai elemen masyarakat itu menurut Hendra Sampow sangatlah wajar terkait kekahwatiran masyarakat akan adanya dampak pencemaran lingkungan yang nantinya akan timbul apa bila kedepan perusahan PT. ASA atau JRN melakukan kegiagan pengolahan atau produksi,”Komplain masyarakat itu wajar terkait keberadaan pembangunan lokasi produksi, karena bila nantinya kedepan pihak perusahan sudah mulai melakukan kegiatan produksi dan terjadi apa yang di khawatirkan terkait dampak lingkungan, maka yang akan merasakan dampak tersebut adalah masyarakat secara umum, bukan hanya mereka yang hadir pada saat pembahasan di sala satu hotel di Manado itu”, tegas Hendra Sampow.

Selain meminta kepada instansi tekhnis terkait dalam hal ini Kementerian ESDM melalui Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Utara dan KLHK melalui Dinas Lingkungan Hidup, Sampow juga berharap kepada para lembaga pemerhati lingkungan agar kiranya dapat turun meninjau langsung keberadaan pusat pengolahan yang saat ini dalam tahapan pembangunan yang diduga di bangun di wilayah pemukiman masyarakat.

Harapan ini tentunya perlu disampaikan karena saat ini timbul kekhawatiran masyarakat Kotabunan dan Bulawan terkait dampak pencemaran lingkungan ketika nantinya kedepan perusahan PT. ASA atau JRN melakukan kegiatan produksi.

Kekhawatiran masyarakat itu menurut Hendra Sampow sangatlah beralasan, karena belajar dari pengalaman sebelumnya pasca indikasi adanya pencemaran teluk Buyat, maka masyarakat Desa Kotabunan dan Bulawan tidak relah apa yang di alami oleh masyarakat teluk Buyat akan di alami kembali oleh masyarakat Kotabunan dan Bulawan. Karena dengan adanya indikasi pencemaran teluk Buyat pasca NMR membawa masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai teluk Buyat harus menelan pil pahit untuk di relokasi ke Desa Duminanga Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

Dimana ketika mereka di relokasi ke Desa Duminanga Bolsel, ratusan masyarakat tersebut harus relah berjalan kaki siang dan malam menuju Manado guna untuk menuntut hak berupa jaminan hidup mereka ketika di relokasi ke Desa Duminanga, apa hal yang sama itu harus di alami dan terjadi lagi pada masyarakat Desa Kotabunan dan Bulawan terkait keberadaan PT. ASA atau JRN, tentunya tidak, tegas Hendra Sampow.

Hedra juga meminta kepada Pemerinah Daerah Bolaang Mongondow Timur agar kiranya dapat turun meninjau lokasi pembangunan tempat produksi yang ada apakah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau tidak, karena diduga kuat lokasi pembangunan tempat produksi material berupa sejumlah tong berukuran besar dan bak pembuangan limbah di duga berada di wilayah pemukiman masyarakat.

Dan apa bila lokasi pembangunan pusat pengolahan itu seandainya sudah sesuai dengan tata ruang, maka tentunya hal itu perlu di pertanyakan karena lokasi pembangunan pusat pengolahan itu di duga kuat berada di wilayah pemukiman masyarakat Desa Kotabunan, sementara lokasi yang akan di kelolah untuk rencana pengambilan material yaitu lokasi Doup atau Panang adalah merupakan Dusun V Desa Kotabunan yang didomisili oleh ratusan kepala keluarga.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (SEKDA) Bolaang Mongondow Timur Sonny Waroka ketika dikonfirmasi Cakrabhayangkaranews.com melalui nomor WhatsApp-nya menyangkut lokasi pembangunan pusat pengolahan berupa sejumlah tong berukuran besar dan bak pembuangan yang diduga berada di wilayah pemukiman masyarakat itu apakah sudah sesuai dengan tata ruang wilayah atau tidak.

Menurut Sekda Sonny Waroka bahwa lokasi pembangunan pusat pengolahan itu sudah sesuai dengan tata ruang wilayah,” Ya sesuai, tapi perizinan tambang kewenanangan Provinsi dan Pusat”, jelas Seksda Sonny Waroka melalui pesan singkat WhatsApp-nya.

Kembali ke Laptop, menanggapi apa yang disampaikan oleh Sekda Sonny Waroka bahwa lokasi pembangunan pusat pengolahan berupa sejumlah tong berukuran besar dan bak pembuangan limbah itu sudah sesuai dengan tata ruang, menurut Hedra Sampow bahwa sesungguhnya hal itu di duga sangat keliru karena lokasi itu diduga berada di wilayah pemukiman masyarakat Desa Kotabunan,”Bagaimana pemerintah daerah menetapkan lokasi pembangunan pusat pengolahan berupa sejumlah tong dan bak limbah itu masuk dalam tata ruang wilayah pertambangan, sementra berada di wilayah pemukiman masyarakat yang diperkirakan hanya berjarak kurang lebih 300 meter dari rumah penduduk dan sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kotabunan”, jelas Hendra penuh tanya.

Masih terkait dengan apa yang disampaikan oleh Sekda Sonny Waroka bahwa perizinan tambang kewenangan Provinsi dan Pusat, menurut Hendra Saampow bahwa kami sangat memahami menyangkut aturan tersebut, tetapi terkait dengan Rencana Tata Ruang Wiayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) setau kami bahwa itu merupakan kewenangan pemerintah daerah. Karena adanya Undang-Undang Cipta Kerja tidak merubah kewenangan terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tentang Penataan Ruang, dimana kewenangan penyusunan tata ruang masi ada di daerah sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang telah disusun oleh Pemmerintah Pusat, dan acuan perizinan pertambangan tersebut diterbitkan mengacu pada rekomendasi Tata Ruang yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. (Pusran Beeg)

Share :