img 20240703 wa0065

CBN, PangkalpinangPerayaan HUT Bhayangkara ke-78, Polda Kepulauan Bangka Belitung (Babel) mendapat sorotan tajam akibat dugaan tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh Bripda Raffi Akbar terhadap seorang tahanan wanita bernama ZS (30). Kasus ini semakin mencuat karena Bripda Raffi Akbar adalah putra dari seorang anggota DPRD, SU, dari Partai Golkar. Kejadian ini terungkap pada beberapa waktu lalu setelah mencuat menjadi pemberitaan, dan sejak itu menjadi berita hangat di berbagai media. Rabu (3/7/2024).

Permasalahan ini bermula dari penetapan ZS sebagai tersangka dalam kasus mucikari. ZS, yang sebelumnya bungkam, akhirnya membeberkan bahwa ia telah beberapa kali diperkosa oleh Bripda Raffi Akbar.

Sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan, sebut saja BG, menyatakan bahwa ZS awalnya diam karena dijanjikan oleh Bripda Raffi Akbar bahwa ia bisa membantu agar ZS tidak dijadikan tersangka.

Namun, setelah ZS tetap ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya dilanjutkan ke pengadilan, ZS akhirnya membuka suara atas perbuatan Bripda Raffi Akbar.

BG mengungkapkan bahwa ZS merasa terpaksa melayani nafsu Bripda Raffi Akbar dengan harapan dapat bebas dari jeratan hukum.

“Setelah ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya dilanjutkan ke pengadilan, ZS akhirnya berbicara tentang pemerkosaan yang dialaminya,” kata BG. “Ia merasa sangat kecewa dan terpaksa membuka semua yang terjadi.”

Kasus ini menjadi semakin rumit karena Bripda Raffi Akbar adalah anak dari seorang anggota DPRD.

BG mengatakan bahwa ia meminta identitasnya dirahasiakan karena takut kasus ini akan mengancam keselamatan dirinya, mengingat orang tua Bripda Raffi Akbar memiliki pengaruh besar dalam dunia politik.

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Kepolisian RI tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti warga sipil lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa anggota kepolisian adalah warga sipil dan bukan subjek hukum militer.

Namun, Polri juga tunduk pada peraturan disiplin dan Komisi Kode Etik Profesi yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2003 serta Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tugas Humas Polri sangat penting dalam menyampaikan informasi dari internal organisasi ke publik dan sebaliknya.

Humas Polri juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan fungsi kemitraan dan penerangan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan penyampaian informasi agar tidak terjadi kegaduhan.

Namun, dalam kasus ini, Kabid Humas Polda Babel bungkam saat dikonfirmasi wartawan. Sikap diam Kabid Humas Polda Babel dan Kapolres Pangkalpinang membuat wartawan sulit mendapatkan informasi, yang pada akhirnya menimbulkan kegaduhan dan rasa penasaran di masyarakat.

Sidang Komisi Kode Etik Polri yang diadakan pada hari Sabtu lalu menjatuhkan hukuman PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) terhadap Bripda Raffi Akbar.

Namun, keputusan ini menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai upaya untuk meredam pemberitaan yang sudah viral.

PTDH dianggap tidak relevan dalam menghilangkan kasus tindak pidana pemerkosaan karena Bripda Raffi Akbar masih bisa melakukan banding di Polda Kepulauan Bangka Belitung.

Penting bagi Polri untuk bersikap transparan dan profesional dalam menangani kasus ini agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian tidak terganggu.

Tindakan hukum harus diambil tanpa pandang bulu, dan perlindungan terhadap korban harus menjadi prioritas utama.

Kasus ini mencerminkan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam tubuh Polri. Dalam upaya menjaga citra dan kepercayaan publik, Polri harus menunjukkan bahwa mereka serius dalam menangani pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggotanya sendiri.

Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. (KBO Babel)

Share :